Sangsi Dan Pidana UU Pornografi & UU ITE Tentang Informasi Elektronik Bermuatan Pornografi
Berita Jejak Kasus - Kemajuan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK)
dan pemanfaatannya dalam berbagai bidang kehidupan menandai perubahan
peradaban manusia menuju masyarakat informasi. Internet adalah produk
TIK yang memudahkan setiap orang memperoleh dan menyebarkan informasi
dengan cepat, murah dan menjangkau wilayah yang sangat luas. Pemanfaatan
Internet tidak hanya membawa dampak positif, tapi juga dampak negatif.
Salah satu dampak negatif dari pemanfaatan internet adalah penyebaran
informasi bermuatan pornografi yang menjadi perhatian serius dari
Pemerintah di berbagai Negara termasuk Indonesia.
Pemerintah Cina
pada tahun 2007 secara serius mengambil tindakan tegas dengan
memberantas penyebarluasan pornografi di Internet. Pemerintah Cina
mengganggap masalah Pornografi merupakan masalah sosial yang perlu
ditangani secara serius karena memicu berbagai tindak kriminal yang
marak terjadi. Sikap Pemerintah Cina bukan hanya isapan jempol, sekitar
44.000 situs porno berhasil ditutup, menahan sekitar 868 orang dan
memproses 524 kasus krimimal berkaitan pornografi di Internet. Dengan
dibantu tenaga ahli komputer, Cina mampu menyensor isi situs di
internet, dan memblokir akses situs porno dari luar negeri. Demikian
pula, Pemerintah Singapura tidak ingin bermain-main dengan soal
pornografi dengan keras menindak para pelaku penyebaran pornografi
terutama foto-foto bugil dan memblokir akses situs porno. Bahkan, produk
pornografi dalam kemasan VCD termasuk majalah PlayBoy tidak akan
dijumpai pada toko-toko di Singapura.
Bagaimana di Indonesia?
Sudah banyak peraturan perundang-undangan yang memuat larangan
penyebaran pornografi, diantaranya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999
tentang Pers, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran,
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Peraturan
perundang-undangan tersebut dianggap kurang memadai dan belum memenuhi
kebutuhan hukum untuk memberantas pornografi secara efektif. Oleh karena
itu, sejak tahun 2006 telah bergulir pembahasan Rancangan Undang-Undang
Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP) di Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia. Dalam perjalanannya, RUU APP berganti menjadi RUU
Pornografi dan pada tanggal 30 Oktober 2008, DPR RI mengesahkan UU
Pornografi melalui Sidang Paripurna.
Pro dan Kontra mewarnai
sebelum dan sesudah lahirnya UU Pornografi terhadap beberapa hal seperti
batasan pornografi, sanksi pidana, dan peran serta masyarakat. Meskipun
demikian, Pemerintah dan DPR RI menyadari sepenuhnya bahwa Indonesia
perlu segera memiliki UU Pornografi dengan pertimbangan bahwa pembuatan,
penyebarluasan, dan penggunaan pornografi dipandang sudah semakin luas
dan dapat mengancam kehidupan sosial masyarakat. Kita masih ingat
berbagai tindak kriminal terjadi di tengah masyarakat seperti
pemerkosaan dan pelecehan seksual dimana si pelaku terdorong
melakukannya setelah menonton film porno di internet, kasus maraknya
penyebaran foto bugil di internet dari hasil rekayasa foto, kasus
jual-beli VCD Porno yang melibatkan orang dewasa maupun anak-anak, dan
masih banyak kasus lainnya. Dengan lahirnya UU Pornografi dimaksudkan
untuk segera mencegah berkembangnya pornografi dan komersialisasi seks
di masyarakat, dan memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi
warga negara dari pornografi, terutama bagi anak dan perempuan.
Memang disadari bahwa kemajuan teknologi ternyata memberikan ruang bagi
penyebaran pornografi, sebut saja penggunaan komputer untuk menggandakan
file-file bermuatan pornografi ke dalam VCD, kemudian dijual atau
disewakan kepada orang yang berminat. Internet yang sering digunakan
untuk transaksi dagang, penyebaran ilmu pengetahuan, penyebaran berita,
ternyata dapat pula dimanfaatkan untuk menyebarluaskan pornografi dalam
bentuk informasi elektronik berupa gambar, foto, kartun, gambar
bergerak, dan bentuk lainnya.
Menurut peneliti LIPI, Romi Satria
Wahono: setiap detiknya terdapat 28258 orang melihat situs porno, setiap
detiknya 372 pengguna Internet mengetikkan kata kunci tertentu di situs
pencari untuk mencari konten pornografi, dan jumlah halaman situs
pornografi di dunia mencapai 420 juta. Data tersebut memang sangat
mengejutkan kita karena penyebaran pornografi di internet sangat cepat,
apalagi di masa akan datang. Oleh karena itu, perlu komitmen yang serius
dari Pemerintah dan dukungan dari masyarakat untuk melakukan langkah
yang tegas dan efektif dalam mencegah dan memberantas pembuatan,
penyebaran, dan penggunaan produk pornografi.
Untuk mencegah dan
memberantas penyebaran pornografi lewat komputer dan internet, Indonesia
telah memiliki peraturan perundang-undangan yang memuat larangan
penyebaran pornografi dalam bentuk informasi elektronik yakni UU No. 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Pada
pasal 27 ayat 1 berbunyi ”Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak
mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat
diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang
memiliki muatan yang melanggar kesusilaan”. Sanksi pidana akan dikenakan
bagi setiap orang yang melakukan perbuatan seperti dinyatakan dalam
pasal 27 ayat 1 yakni pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Dengan
berlakunya UU Pornografi, UU ITE dan peraturan perundangan-undangan yang
memuat larangan pornografi tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan
dengan UU Pornografi. Hal ini telah ditegaskan dalam Pasal 44 UU
Pornografi.
Kepemilikan Produk Pornografi
UU Pornografi
menjerat bagi setiap orang yang memiliki atau menyimpan produk
pornografi (kecuali untuk kepentingan pribadi) .Ketentuan tentang
larangan kepemilikan produk pornografi dinyatakan dalam pasal 6 bahwa
Setiap orang dilarang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan,
memiliki, atau menyimpan produk pornografi kecuali diberi kewenangan
oleh perundang-undangan. Yang dimaksud “diberi kewenangan oleh
perundang-undangan” misalnya lembaga sensor film, lembaga pengawasan
penyiaran, lembaga penegak hukum, lembaga pelayanan kesehatan dan
lembaga pendidikan.
Selanjutnya, Pasal 43 memerintahkan kepada
setiap orang yang menyimpan atau memiliki produk pornografi untuk
memusnahkan sendiri atau menyerahkan kepada pihak yang berwajib untuk
dimusnahkan dalam waktu paling lama 1 bulan sejak UU Pornografi berlaku.
Pemusnahan yang dimaksud seperti menghapus semua file komputer
bermuatan pornografi yang tersimpan di CD, Harddisk, Flash disk atau
media penyimpanan lainnya. Tentu, bagi orang yang masih menyimpan produk
pornografi akan terkena sanksi pidana penjara paling lama 4 (empat)
tahun atau denda paling banyak 2 miliar rupiah.
Memproduksi, membuat dan menyebarluaskan Pornografi
Bagi orang yang memiliki website yang menyajikan cerita porno, foto
bugil, film porno, dan berbagai informasi bermuatan pornografi akan
dijerat dengan pasal 4 ayat 1 UU Pornografi dengan pidana penjara paling
singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (duabelas) tahun dan/atau
pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).
Bandingkan dengan sanksi pidana dalam UU ITE, terhadap setiap orang yang
menyebarkan informasi pornografi (pasal 27 ayat 1) dikenai pidana
penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Tampaknya, sanksi pidana dalam
UU Pornografi lebih berat. Yang dimaksud dengan "membuat" dalam Pasal 4
tidak termasuk untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri. Dengan
demikian, seseorang yang membuat produk pornografi untuk kepentingan
sendiri/pribadi tidak dapat dijerat dengan pasal-pasal dalam UU
Pornografi.
Pasal 27 ayat 1 UU ITE menggunakan kata ’dapat
diaksesnya’, yang berarti setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak
membuat dapat diaksesnya informasi elektronik bermuatan pornografi atau
pelanggaran kesusilaan akan terkena sanksi pidana. Contoh, Seseorang
memiliki website. Bila di dalam website itu terdapat link (hubungan) ke
website lain yang memuat gambar porno maka orang itu dapat dituduh ikut
menyebarluaskan pornografi atau mengarahkan orang lain mengakses situs
porno. Contoh yang lain, perbuatan seseorang mengirimkan pesan lewat
email kepada orang lain dan memberitahu keberadaan situs porno yang
dapat diakses. Perbuatan orang itu juga termasuk perbuatan
menyebarluaskan pornografi yang dilarang dalam UU ITE.
Dalam UU
ITE, diatur pula larangan mengubah atau memanipulasi informasi
elektronik sehingga seolah-olah tampak asli. Kita sering mendengar dan
melihat berita tentang tindak kriminal dari pelaku rekayasa foto seperti
foto artis, pejabat, atau orang lain yang diubah dari tidak bugil
menjadi bugil (seolah-olah foto asli). Kegiatan merekayasa foto tersebut
termasuk perbuatan yang dilarang dalam UU ITE terkait dengan pasal 35
yaitu setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum
melakukan manipulasi informasi elektronik sehingga dianggap seolah-olah
data yang otentik. Bagi si pelaku dikenai sanksi pidana dengan pidana
penjara paling lama 12 (duabelas) tahun dan/atau denda paling banyak 12
(duabelas) miliar rupiah.
Mengunduh, Memperbanyak, menggandakan, memperjualbelikan, menyewakan Pornografi
Kegiatan seperti mengcopy file Pornografi ke CD atau media penyimpanan
yang lain, lalu menyewakan atau menjualnya merupakan perbuatan yang
melanggar Pasal 4 ayat 1 UU Pornografi, bagi si pelaku dikenakan pidana
penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (duabelas)
tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus
lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam
miliar rupiah).
Kegiatan seseorang untuk memfasilitasi pembuatan,
penggandaan, penyebarluasan, penjualan, penyewaan, penggunaan produk
pornografi merupakan kegiatan yang dilarang dalam pasal 7 UU Pornografi.
Bagi pelaku yang melanggar pasal 7 dikenai pidana penjara paling
singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau
pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan
paling banyak Rp7.500.000.000,00 (tujuh miliar lima ratus juta rupiah).
Bandingkan dengan UU ITE, Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau
melawan hukum mengadakan atau menyediakan perangkat keras atau
perangkat lunak Komputer yang digunakan untuk memfasilitasi perbuatan
penyebarluasan pornografi merupakan perbuatan yang dilarang dalam pasal
34 ayat 1 UU ITE. Bagi pelaku akan dikenai pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah). Perbuatan itu termasuk keterlibatan seseorang
menyediakan fasilitas berupa perangkat keras komputer untuk menggandakan
atau memperbanyak file-file pornografi dalam CD atau media penyimpanan
yang lain agar dapat disebarluaskan.
Setiap orang yang memiliki
produk pornografi mendapatkannya dengan cara membeli, memperoleh secara
gratis, atau mengunduh dari internet. Mengunduh adalah kegiatan
mengalihkan atau mengambil file dari sistem teknologi informasi dan
komunikasi. Kegiatan mengunduh sering dilakukan di internet, seperti
mengunduh artikel ilmiah, berita, cerita humor, dan informasi lainnya.
Tapi, mengunduh pornografi merupakan perbuatan yang dilarang pada pasal 5
UU Pornografi. Setiap orang yang mengunduh pornografi dikenai pidana
penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak 2 miliar
rupiah. Pemerintah telah berupaya untuk melakukan pemblokiran terhadap
akses situs porno agar tidak dapat diunduh dengan menyediakan software
antipornografi. Meskipun demikian, situs porno di internet bertambah
jumlahnya setiap saat, sehingga penggunaan software antipornografi perlu
dibarengi dengan upaya yang lain, misalnya memberdayakan peran orang
tua untuk mengawasi dan memberi penjelasan kepada anak-anak untuk tidak
mengunduh pornografi lewat internet atau media lainnya.
Pencegahan Pornografi dengan Peran Serta Masyarakat dan Pemerintah
UU Pornografi tidak hanya memuat pasal-pasal larangan tetapi memuat
pula peran serta masyarakat dan pemerintah untuk mencegah penyebarluasan
pornografi. Pasal 15 dikatakan “Setiap orang berkewajiban melindungi
anak dari pengaruh pornografi dan mencegah akses anak terhadap
pornografi”. Selanjutnya, dalam ketentuan umum pada Pasal 1 yang
dimaksud dengan Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan
belas) tahun. Untuk usia di bawah 18 tahun, akses pornografi oleh
anak-anak kemungkinan dilakukan lewat Internet, dan tempat yang mudah
dijangkau adalah Warnet. Bagi pemilik dan pengelola warnet berkewajiban
mengawasi dan mencegah akses pornografi lewat internet, misalnya
mengatur posisi komputer agar menyulitkan pengunjung warnet untuk
mengakses situs porno, menggunakan software antipornografi, dan upaya
lainnya.
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan
pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi dengan
cara melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan penyebarluasan produk
pornografi atau jasa pornografi, termasuk pemblokiran melalui internet.
Pemerintah daerah berwenang mengembangkan edukasi misalnya penyuluhan ke
sekolah-sekolah tentang bahaya dan dampak pornografi. Masyarakat
diharapkan dapat ikut berperan serta untuk mencegah penyebarluasan
pornografi dengan melaporkan pelanggaran, melakukan sosialisasi kepada
masyarakat tentang pornografi dan upaya pencegahannya. Peran serta
masyarakat harus sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku,
maksudnya masyarakat tidak boleh melakukan tindakan main hakim sendiri,
tindakan kekerasan, razia (sweeping), atau tindakan melawan hukum
lainnya, hal ini ditegaskan dalam Bagian Penjelasan UU Pornografi.
Pencegahan dan Pemberantasan Pornografi oleh Aparat Penegak Hukum
Untuk melaksanakan UU Pornografi, Aparat Penegak Hukum memiliki
kewenangan untuk mencegah dan memberantas penyebaran produk pornografi.
Berbagai upaya dapat dilakukan diantaranya melakukan razia (sweeping) di
berbagai tempat termasuk pengguna komputer untuk memeriksa keberadaan
produk pornografi, menindak para pembuat website pornografi, melakukan
penyuluhan tentang bahaya pornografi dan sanksi pidana. Kewenangan
Aparat tersebut dipertegas dalam Pasal 25 UU Pornografi tentang
penyidikan bahwa penyidik berwenang membuka akses, memeriksa file
komputer, jaringan internet, media optik, serta bentuk penyimpanan data
elektronik lainnya. Pemilik data atau penyimpan data atau penyedia jasa
layanan elektronik wajib menyerahkan atau membuka data elektornik yang
diminta oleh Penyidik.
Senin, 06 April 2015
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar