Untuk memperjelas diskusi ini, maka asumsi yang perlu diambil ialah:
1. yang
dimaksud “membuat foto atau video porno untuk dinikmati sendiri” ialah
foto atau rekaman video hubungan seksual antara pria dan wanita itu
sendiri.
2. Pria dan wanita tidak termasuk dalam kategori anak sebagaimana dimaksud dalam perundang-undangan.
B. Definisi dan Ruang Lingkup Pornografi
Berbicara mengenai pornografi, telah ada beberapa undang-undang yang mengatur substansi yang dimaksud, antara lain:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”);
2. Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”); dan
3. Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (“UU 44/2008”)
Dalam Bab – XIV KUHP diatur tentang Kejahatan terhadap Kesusilaan, tetapi tidak diatur mengenai definisi kesusilaan. Demikian juga dengan UU ITE. Pasal 27 ayat (1) UU ITE mengatur larangan mendistribusikan, mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.
Dari
ketiga undang-undang yang dimaksud, UU 44/2008 lebih jelas memberikan
definisi mengenai Pornografi, yaitu gambar, sketsa, ilustrasi, foto,
tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan,
gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media
komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau
eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.
Oleh karena itu, definisi tersebut dapat diterapkan dalam diskusi ini.
Secara
teoritis-normatif, foto atau rekaman video hubungan seksual disebut
Pornografi apabila foto atau rekaman tersebut melanggar norma kesusilaan
dalam masyarakat.
Pasal 4 ayat (1) UU 44/2008
mengatur larangan perbuatan memproduksi, membuat, memperbanyak,
menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor,
menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi
yang secara eksplisit memuat:
a. persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang;
b. kekerasan seksual;
c. masturbasi atau onani;
d. ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;
e. alat kelamin; atau
f. pornografi anak
Pasal 4 ayat (1) UU 44/2008 tentang Pornografi disebutkan bahwa yang dimaksud dengan "membuat" adalah tidak termasuk untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri.
C. Pembuatan Pornografi
Dalam
hal pria dan wanita saling memberikan persetujuan untuk perekaman video
seksual mareka dan foto serta video tersebut hanya digunakan untuk
kepentingan sendiri sebagaimana dimaksud dalam pengecualian dalam Pasal
44/2008 maka tindakan pembuatan dan penyimpanan yang dimaksud tidak termasuk dalam ruang lingkup “membuat” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 UU Pornografi.
Dalam
hal pria atau wanita melakukan pengambilan gambar atau perekaman
hubungan seksual mereka tanpa diketahui oleh wanita atau pria
pasangannya, atau tanpa persetujuannya, maka pembuatan video tersebut
melanggar Pasal 4 ayat (1) UU 44/2008. Persetujuan (consent) merupakan bagian yang sangat vital dalam menentukan adanya pelanggaran atau tidak.
D. Diseminasi atau Distribusi Pornografi
Dalam
hal pembuatan foto atau video disetujui oleh para pihak maka penyebaran
oleh salah satu pihak dapat membuat pihak lain terjerat ketentuan
pidana, sepanjang pihak itu tidak secara tegas memberikan larangan untuk
penyebarannya.
Sebagai
contoh apabila pria dan wanita sepakat atau saling memberikan
persetujuan untuk pembuatan foto atau rekaman Pornografi, kemudian pria
menyebarkan Pornografi, tetapi wanita sebelumnya tidak memberikan
pernyataan tegas untuk melarang pria untuk menyebarkan atau mengungkap
Pornografi tersebut maka wanita dapat terjerat tindak pidana penyebaran Pornografi.
Apabila
wanita sebelumnya telah memberikan pernyataan tegas bahwa ia setuju
membuat pornografi tetapi tidak mengizinkan pria untuk mengungkap atau
menyebarkan Pornografi tersebut maka wanita memiliki posisi yang lebih
kuat untuk tidak dipersalahkan sebagai turut serta penyebaran
pornografi.
Demikian
juga apabila wanita memang sejak awal tidak mengetahui adanya pembuatan
foto atau video Pornografi, atau tidak memberikan persetujuan terhadap
pembuatan Pornografi tersebut, maka dalam hal ini, wanita tersebut dapat
disebut sebagai korban penyebaran konten Pornografi.
E. Penyimpanan Produk Pornografi
Pasal 6 UU 44/2008 mengatur bahwa setiap
orang dilarang..., memiliki, atau menyimpan produk pornografi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), kecuali yang diberi kewenangan oleh peraturan perundang-undangan.
Menimbulkan pertanyaan apakah video atau foto Porno tersebut yang dibuat oleh pria dan wanita juga dilarang?
Salah satu interpretasi yang mungkin ialah sebagai berikut.
1. Dalam
hal pria dan wanita telah saling memberikan persetujuan terlebih dahulu
maka penyimpanan atau pemilikan Pornografi tersebut menjadi bagian yang
tidak terpisahkan dalam proses membuat dan hal ini masuk dalam kategori
pengecualian yang dimaksud dalam Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU
44/2008.
Secara
teknis, umumnya, setelah video atau foto dibuat, secara otomatis akan
disimpan dalam sistem penyimpanan yang ada di dalam media elektronik.
Oleh karena itu, secara hukum, apabila dalam satu kesatuan proses,
menjadi tidak logis apabila pembuatan diperbolehkan tetapi penyimpanan atau pemilikan dilarang.
2. Apabila
dalam hal salah satu pihak tidak memberikan persetujuan terlebih
dahulu, maka penyimpanan atau pemilikannya menjadi dilarang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 UU 44/2008.
F. Memfasilitasi Pornografi
Pasal 7 UU 44/2008 mengatur bahwa setiap orang dilarang mendanai atau memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.
Apakah
tindakan pria atau wanita yang memberikan persetujuan kepada wanita
atau pria dalam pembuatan pornografi termasuk memfasilitasi Pornografi?
Interpretasi yang mungkin ialah bahwa sepanjang wanita atau pria yang telah memberikan persetujuan
itu terlibat di dalam foto atau video pornografi tersebut maka, ia
tidak dapat dianggap sebagai memfasilitasi perbuatan Pornografi.
G. Penyebaran Pornografi
Pasal 27 ayat (1) UU ITE mengatur:
“Setiap
Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar
kesusilaan.”
Ancaman pidana terhadap pelanggar diatur dalam Pasal 45 ayat (1) UU ITE, yaitu ancaman pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak 1 (satu) milliar rupiah.
Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi menyebutkan:
“Setiap orang dilarang..., membuat,...menyebarluaskan... Pornografi...”
Ancaman terhadap pasal ini diatur dalam Pasal 29 UU 44/2008
yaitu pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12
(dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp 250 juta
rupiah dan paling banyak Rp 6 miliar rupiah.
Dengan
demikian, dalam kasus atau permasalahan yang rekan tanyakan, rekan
dapat menerapkan sebagian atau keseluruhan pasal-pasal terkait aspek
pembuatan, distribusi, penyimanan, fasilitas, dan/atau penyebaran konten
pornografi sebagaimana kami uraikan di atas.
Demikian pendapat kami, terima kasih.
Catatan:
Semua
informasi atau pertanyaan serta pendapat yang diberikan dalam forum ini
merupakan bentuk dari kebebasan berekspresi yang diakui dan dilindungi
oleh Konstitusi Negara Republik Indonesia, dan bukan merupakan pendapat
hukum yang mengikat siapapun, serta bukan pendapat resmi dari instansi
apapun. Pendapat ini ditujukan untuk membuka wacana dalam mengembangkan
konsep atau pemahaman hukum terkait penerapan suatu ketentuan peraturan
perundang-undangan. Setiap orang yang memiliki kesamaan kondisi atau
yang ingin menggunakan pendapat atau informasi ini harus
mengkonsultasikannya terlebih dahulu dengan penasehat hukumnya.
Dasar Hukum:
0 komentar:
Posting Komentar